Oleh: Pahrurrozi, M.Pd.I
Tenaga Pengajar Fakultas Tarbiyah UIN Mataram
Ketikjari.com – HARI ini ketika seseorang ditanya tentang bagaimana ia bernegara kemudian menghubungkan konsep bernegara dengan hadits yang berbunyi “mencintai negara adalah bagian dari iman”, kemungkinan besar ia akan terdiam sambil manggut-manggut. Membenarkan bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman, tetapi sembari berpikir tentang apa yang telah ia perbuat untuk negaranya
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kata iman dan negara adalah dua kata yang memiliki arti berbeda, baik dari segi bahasa maupun istilah. Iman berhubungan dengan sesuatu yang tidak terlihat (ghaib), nilai rasa terhadap suatu keyakinan seseorang, suasana kebatinan. Sedangkan kata negara tertuju pada sesuatu yang bersifat kasat mata (tangible), memiliki unsur-unsur yang meliputi: rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat serta adanya pengakuan dari negara lain. Jika melihat dua hal tersebut (iman dan negara) secara terpisah (parsial) akan membuat kita kaku untuk merefleksikan nilai-nilai yang terkandung dalam hadits nabi tersebut. Oleh karena itu, marilah kita berusaha melihatnya secara utuh dan menyeluruh (universal)
Sebagaimana uraian di atas, bahwa kita sebagai rakyat dan tempat tinggal kita sebagai wilayah negara adalah bagian dari unsur-unsur negara. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang tidak bisa terpisahkan. Ketika seseorang menyadari dirinya sebagai bagian dari sebuah negara dan menyadari bahwa mencintai negaranya adalah bagian dari iman yang mencerminkan bentuk kepatuhannya kepada Allah SWT, maka dia akan berusaha untuk memberikan kontribusi yang baik bagi negaranya.
Usaha atau ikhtiar seseorang untuk berkontribusi kepada negara sering disalahmaknai ketika dia tidak menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari unsur-unsur negara. Makna berkontribusi pada negara, sering diartikan sebagai sesuatu yang besar dan sulit direfleksikan. Bagaimana tidak? Orang pada umumnya melihat bahwa menjadi pahlawan negara atau menjadi orang yang bermanfaat bagi negara harus memiliki klasifikasi tertentu, seperti memiliki suatu kelebihan yang diakui oleh orang banyak. Ketika kita terbelenggu dalam suasana pemaknaan sebagaimana di atas, maka tindak lanjut (follow up) dari konsekuensi hadits tentang mencintai negara adalah sebagian dari iman, hanya akan berakhir sebagai bahan diskusi yang tidak bisa dilaksanakan atau akan bermuara pada tataran konsep retorika yang bersifat statis.
Nabi sebagai teladan dalam semua aspek kehidupan seorang muslim telah memberikan contoh bagaimana beliau mencintai tanah kelahiran dan tempat tinggalnya (negaranya). Banyak hadits yang bisa kita temukan terkait anjuran bagi seorang muslim agar bisa menjadi bagian dari orang yang suka menebar kebaikan. Apabila setiap muslim berusaha menebar kebaikan atau memberi manfaat bagi lingkungan sekitarnya, maka akan berpengaruh terhadap keadaan negara yang ditempatinya.
Mencintai tanah air dan membela bangsa sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah Saw. tidak meski harus dimulai dengan sesuatu yang besar. Mencintai tanah air dan membela bangsa sesungguhnya bisa dimulai dari mencintai diri sendiri dan berusaha memperbaikinya dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan. Contoh kecil saja, ketika seseorang mengimani hadits nabi, menyadari dirinya sebagai bagian dari sebuah negara, dan tempat tinggalnya sebagai bagian dari wilayah negaranya. Dengan sendirinya, dia akan tergerak untuk memelihara kebersihan dan kenyamanan tempat tinggalnya atau berusaha memberikan yang terbaik bagi orang lain di sekitarnya.
Ketahuilah bahwa sekecil atau sesederhana apapun yang kita lakukan, selama itu merupakan bukti dari mematuhi perintah-Nya dan perintah nabi-Nya serta bertujuan untuk memberikan kebermanfaatan untuk orang lain. Maka, pasti kita akan mendapatkan balasan yang terbaik dari-Nya. Sebagaimana hadits dalam riwayat Abu Hurairah, Rasulullah Saw. bersabda, yang artinya “Saat seorang pria sedang berjalan, tiba-tiba ia mendapati sebuah dahan berduri yang menghalangi jalan. Kemudian ia menyingkirkannya. Maka Allah bersyukur kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya”.
Kita mengimani bahwa Rasulullah Saw. diutus sebagai rahmat (yang memberikan kebaikan) bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Dengan demikian, apapun konsep beliau tentang sikap seorang muslim terhadap tempat tinggalnya (negaranya), sudah pasti mendatangkan kebaikan bagi negara tersebut. Oleh karena itu, marilah kita mulai dari diri sendiri. Perbaiki diri, tanamkan nilai-nilai kebaikan dalam bermasyarakat, jaga perasaan setiap orang yang berada di sekitar kita agar mereka nyaman dengan apa yang kita lakukan. Sehingga akan muncul suasana rasa kebersamaan saling menghargai, menghormati dan menyayangi yang menjadi landasan dari semangat persatuan dan kesatuan kita di dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.(*)